TUGAS ISD BAB 11
BAB XI . prasangka,diskriminasi dan etnosentrisme
PRASANGKA DAN DISKRIMINASI,etnosentrisme
Isu terpenting yang perlu dibahas di sini apabila kita berbicara tentang prasangka dan diskriminasi adalah stereotyping., yaitu suatu kecenderungan untuk mengidentifikasi dan mengeneralisasi setiap individu, benda dan sebagainya ke dalam katagori-katagori yang sudah dikenal. Stereotyping terhadap warga etnis Tionghoa di Indonesia, seperti yang kita semua telah ketahui, mempunyai akar sejarah yang panjang karena katagori-katagori yang kita kenal itu pada awalnya dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda, walaupun setelah itu masih terjadi proses modifikasi yang terus-menerus sampai hari ini.
Ada beberapa katagori dasar yang bisa kita diskusikan di sini. Pertama, katagori ‘asing’ yang melekat pada penggolongan warga etnis Tionghoa — bersama-sama warga etnis Arab dan India –sebagai golongan Timur Asing. Katagori ini menempatkan warga etnis Tionghoa sebagai orang yang berasal dari luar atau pendatang yang berbeda dengan penduduk asli (yang oleh Belanda dikatagorikan sebagai Inlanders). Itu sebabnya mengapa sampai hari ini kita masih menghadapi persoalan asli versus pendatang, walaupun sebagian dari kita sudah berbicara tentang kewarganegaraan, tentang hak-hak yang sama dari setiap warganegara. Contoh yang paling jelas yang menggambarkan hal ini adalah penggunaan kata huaqiao atau Huakiao, yang artinya Orang Cina (di) Perantauan atau dalam bahasa Inggris Overseas Chinese, untuk mengacu kepada orang-orang Tionghoa di Indonesia, walaupun yang bersangkutan sudah menjadi warganegara Indonesia. Sesungguhnya ada istilah lain yang diperkenalkan oleh Lie Tek Tjeng di tahun 1970an, yaitu istilah Huaren yang diartikan sebagai Keturunan Cina atau Chinese descent. Pengertian ini pun sekarang menjadi problematik karena bukankah warga Indonesia lainnya juga merupakan keturunan, keturunan Batak, keturunan Sunda, keturunan Ambon, dan sebagainya. Sekarang ada yang mulai memperkenalkan istilah warganegara Indonesia-Tionghoa yang dianggap cukup netral dan bisa diterima, paling tidak oleh warga etnis Tionghoa yang terpelajar, akan tetapi penggunaan istilah ini masih belum meluas kepada berbagai kalangan, termasuk media massa.
Katagori yang kedua berkaitan dengan jenis pekerjaan yang umumnya digeluti warga etnis Tionghoa yang sejak semula cenderung ke arah perdagangan. Persoalan inilah yang membawa bias pandangan tentang warga etnis Tionghoa sebagai ‘economic animal’ yang seringkali kita dengar ketika pekerjaan yang mereka lakukan meluas pula ke bidang-bidang kegiatan ekonomi yang lain, seperti manufaktur dan jasa. Pandangan yang menganggap keahlian berbisnis sebagai salah satu karakteristik yang berhubungan dengan gen dan kultur warga etnis Tionghoa adalah salah satu turunan dari bias tersebut. Begitu juga dengan pandangan tentang jaringan bisnis orang Tionghoa yang sangat kuat dan tertutup, padahal ketertutupan tersebut sekarang sudah mengalami perubahan. Apabila di masa lalu jaringan bisnis orang Tionghoa dibangun atas dasar kelompok-kelompok dialek seperti Hokkian, Hakka, Tiochiu, Hokchia, dan sebagainya, saat ini jaringan bisnis yang kita temui di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta lebih didasarkan atas kesamaan profesi atau kesamaan pengalaman pendidikan, sehingga apa bisa kita amati jaringan itu sesungguhnya telah meluas kepada warga Indonesia non-Tionghoa, walaupun masih dalam jumlah yang kecil dan terbatas pada kelas-kelas sosial tertentu. Dengan kata lain, sulit untuk mengatakan bahwa ketertutupan suatu jaringan bisnis adalah karena solidaritas etnis ataukah akibat perbedaan kelas.
Katagori ketiga mengacu pada persoalan orientasi politik yang berkaitan dengan asal-usul warga etnis Tionghoa yang dihadapkan dengan kepentingan penguasa kolonial Belanda atas subyeknya (dalam hal ini warga etnis Tionghoa), dan dengan isu nasionalisme Indonesia yang sedang bertumbuh saat itu. Sampai hari ini persoalan orientasi politik ini selalu menjadi masalah yang mengganjal dalam sikap penerimaan warga Indonesia lainnya atas status warga etnis Tionghoa sebagai Warganegara Indonesia yang disahkan oleh undang-undang (melalui kepemilikan SBKRI). Keraguan terhadap kesetiaan warga etnis Tionghoa kepada negara-bangsa Indonesia ini adalah salah satu bentuk prasangka yang masih belum bisa terhapuskan. Keraguan ini kian diperkuat oleh peristiwa tahun 1965 yang dikenal sebagai peristiwa G-30-S/PKI yang diduga didalangi oleh pemerintah RRC. Kecurigaan terhadap orang Tionghoa sebagai ‘koloni kelima’ yang selalu bisa dimanfaatkan oleh RRC, dan ketakutan terhadap kemungkinan bersatunya semua orang Tionghoa didunia yang pernah diserukan di Hongkong pada tahun 1990an oleh para pengusaha asal etnis Tionghoa dari berbagai negara, adalah dua dari prasangka-prasangka yang masih ada di dalam pikiran sebagian warga Indonesia non-Tionghoa sampai hari ini, sehingga sepertinya sulit sekali untuk bisa melihat bahwa banyak juga warga etnis Tionghoa yang bisa setia kepada negara-bangsa Indonesia.
Katagori yang keempat berkaitan dengan perbedaan budaya, bahwa kebudayaan Tionghoa yang bersumber pada kebudayaan leluhurnya di RRC dianggap tidak pernah bisa bertemu dengan kebudayaan mayoritas warga Indonesia yang beragama Islam, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan makanan yang mengandung babi yang amat tabu bagi Muslim serta pemujaan leluhur yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam. Kenyataan bahwa sudah banyak warga etnis Tionghoa tidak bisa berbahasa Tionghoa lagi, di samping semakin besarnya jumlah mereka yang menjadi Kristen atau Islam, nampaknya tidak bisa mengubah pandangan umum tentang perbedaan budaya ‘yang besar’ antara warga etnis Tionghoa dan warga Indonesia lainnya. Kawin campur yang jumlahnya semakin banyak pun nampaknya masih tidak bisa menjembatani perbedaan budaya tersebut. Dengan kata lain, pandangan bahwa ‘orang Tionghoa itu berbeda’ selalu dipertahankan dengan mengabaikan adanya perubahan waktu dan ruang, atau kenyataan bahwa segala sesuatu di dunia ini bisa berubah.
Sumber : http://aryosatrio.blogspot.com/2010/11/integrasi-sosial.html
Studi Kasus :
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan untuk melangsungkan kehidupannya. Tetapi walau saling berhubungan, mereka mempunyai kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Misalnya perbedaan kepentingan memiliki kendaraan bermotor. Bagi pekerja kantor atau orang yang sudah bekerja tentunya kendaraan sangat penting untuk berangkat ke kantor. Bagi tukang ojek yaitu sebagai mata pencaharian mereka.
opini
diskriminasi memang suatu pegukuran pada batasan kemampuan seseorang contohnya
pada diskriminasi terhadap perempuan memang sangat merugikan kaum perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar